Sabtu, 04 Mei 2013

cara menggunakan robot.txt

Cara Memasang Kode Robot.txt yang Baik - Sahabat blogger, pada postingan yang lalu bang dadan telah membahas artikel tentang Definisi dan Manfaat Robot.txt untuk Blog, bagi sobat yang belum mengetahui informasi seputar robot.txt bisa sobat lihat disini. Nah menyambung artikel terdahulu kali ini bang dadan akan coba membahas Cara Memasang Kode Robot.txt yang Baik, pemasangan Robot.txt mungkin setiap blogger berbeda - beda tergantung kepercayaan nya masing-masing, namun dalam artikel ini bang dadan akan berikan kode Robot.txt yang selama ini bang dadan gunakan di blog ini.
Baiklah kawan tidak usah panjang lebar lagi kita langsung pada tahap pemasangan kode Robot.txt di blog:
KODE ROBOT.TXT

User-agent: *
Disallow:
User-agent: Mediapartners-Google
Disallow:

User-agent: *
Disallow: /search
Allow:
Sitemap: http://dayaktunjung.blogspot.com//feeds/posts/default?orderby=updated
Keterangan: "Ganti URL yang berwarna merah itu dengan URL blog anda".

Persiapan Perang Ala Dayak Iban Upacara Adat Ngayau

indosiar.com, Kalimantan - Sebelum pergi berperang suku Dayak Iban di Kalimantan Barat terlebih dahulu melakukan sebuah ritual khusus yang disebut Ngayau. Upacara ini untuk memberikan kekuatan magis pemuda - pemuda yang akan berperang dan agar dapat pula membawa kepala musuh yang banyak.
Berbagai sesajen dipersiapan didalam upacara Ngayau ini seperti arak, pulut, sirih, rotan dan babi. Para pemuda yang akan pergi berperang berkumpul dan dipimpin kepala kampung membacakan mantra - mantra sembari memutar - mutarkan kepala ayam diatas kepala mereka. Para pemuda meminum arak yang dituangkan kepala kampung.
Para pemuda juga menuangkan arak sebanyak 3 kali untuk memberi penghormatan kepada leluhur mereka, agar dapat memberkahi mereka yang akan pergi berburu kepala manusia. Diiringi mantra para kesatria menggigit mandau atau pedang. Setelah itu pemuda akan kebal dari aneka senjata. Mereka juga diharuskan memakan pulut, lambang mempererat sesama mereka dan leluhur.
Kepala kampung juga memakankan sirih kepada satria sebagai penutup. Setelah dibacakan mantra - mantra maka pemuda - pemuda ini akan kerasukan roh - roh leluhurnya. Mereka mengambil persenjataan dan menuruni rumah betang. Di tangga terakhir rumah betang para satria ini kembali menuangkan arak keatas beras ketan dan menginjak babi. Diiringi teriakan teriakan magis babi pun dipotong.
Dahulunya upacara ini dilakukan untuk menaklukkan musuh dalam perluasan kekuasaan suku Dayak Iban. Pemuda yang paling banyak menaklukkan musuh dan membawa pulang kepala manusia maka dianggap sebagai Satria Perang. Sedangkan kepala - kepala manusia tersebut hingga kini masih disimpan dirumah - rumah betang dan dihadirkan dalam ritual - ritual adat. (Andi Wardayanto/Dv).

SEJARAH DAYAK TUNJUNG (TONYOOI)

a. Sejarah
Tidak ada data tertulis tentang asal usul Suku Dayak Tunjung ini. Kita dapat mengetahui asal usul mereka hanya dari cerita-cerita rakyat dari orang-orang tua yang didapat secara turun temurun. Konon menurut cerita Suku Dayak Tunjung ini berasal dari dewa-dewa yang menjelma menjadi manusia untuk memperbaiki dunia yang sudah rusak yang terkenal dengan sebutan “Jaruk’ng Tempuq”. Jaruk’ng adalah nama dewa yang menjadi manusia dan Nempuuq atau Tempuuq berarti terbang.
Nama suku Dayak Tunjung ini menurut mereka adalah Tonyooi Risitn Tunjung Bangkaas Malikng Panguruu Ulak Alas yang artinya Suku Tunjung adalah paahlawan yang berfungsi sebagai dewa pelindung. Nama asli suku Tunjung ini adalah Tonyooi. Sedangkan kata Tunjung sendiri dalam bahasa dayak Tunjung adalah “Mudik” atau menuju arah hulu sungai. Ceritanya demikian. Pada suatu hari Seorang Tonyooi Mudik dan bertemu dengan orang Haloq (Sebutan Suku Dayak kepada seseorang yang bukan dayak dan beragama Muslim) kemudian Haloq tersebut bertanya pada Tonyooi ingin pergi kemna, kemudian si Tonyooi Menjawab “Tuncuuk’ng”, maksudnya mudik. Orang Haloq lalu terbiasa melihat orang yang seperti ditanyainya tadi disebut “Tunjung” dan hingga sekarang namanya tersebut masih dipergunakan.
b. Penyebaran
Sesuai dengan ceritalegenda dayak kubar, Sualas Gunaaq (keturunan tunjung) menjadi Raja ke II Kerajaan Sentawar dimana keturunan Suku Tunjung diamni., sebelumnya ayahnya yang bernama Tulur Aji Jangkat.  Tetapi karena Tekanan Kerajaan KUtai Kertanegara serta larangan pemerintah Belanda tentang kebiasaan (adat) mereka mengayau (memotong kepala), lalu suku Dayak Tunjung ini berpindah dan menyebar kepedalaman atau tempat yang berjauhan satu sama lainnya. Akibat penyebaran itu terjadilah sedikit perbedaan logat bahasa dan wujud kebudayaan, tetapi tidak begitu mendasar. Akibat penyebaran ini sehingga terjadi berbagai macam jenis yaitu:
  1. Tunjung Bubut, mereka mendiami daerah Asa, Juhan Asa, baloq Asa, Pepas Asa, Juaq Asa, Muara Asa, Ongko Asa, Ombau Asa, Ngenyan Asa, Gemuhan Asa, Kelumpang dan sekitarnya.
  2. Tunjung Asli, Mendiami daerah Geleo (baru dan Lama)
  3. Tunjung Bahau, Mendiami Barong Tongkok, Sekolaq Darat, Sekolaq Muliaq, Sekolaq Oday, Sekolaq Joleq dan sekitarnya.
  4. Tunjung Hilir, mendiami wilayah Empas, Empakuq, Bunyut, Kuangan dan sekitarnya.
  5. Tunjung Lonokng, mendiami daerah seberang Mahakam yaitu Gemuruh, Sekong Rotoq, Sakaq Tada, Gadur dan sekitarnya.
  6. Tunjung Linggang, mendiami didaerah dataran Linggang seperti Linggang Bigung, Linggang Melapeh, Linggang Amer, Linggang Mapan, Linggang Kebut, Linggang Marimun, Muara Leban, Muara Mujan, Tering, Jelemuq, lakan bilem, into lingau, muara batuq dan wilayah sekitarnya.
  7. Tunjung Berambai, mendiami Wilayah hilir sungai Mahakam seperti Muara Pahu, Abit, Selais, Muara Jawaq, Kota Bangun, Enggelam, Lamin Telihan, Kembang janggut, Kelekat, dan Pulau Pinang.
c. Sistem Kekerabatan
Prinsif kekerabatan yang dianut oleh suku dayak tunjung ialah prinsif bilateral, yang menghitung system kekerabatan dari pihak pria maupun wanita. Setiap individu termasuk dalam kekerabatan ayah dan ibunya, anak-anaknya mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap keluarga pihak ibu maupun ayah.
Kelompk kekerabatan suku dayak tunjung terikat oleh hubungan kekerabatan yang disebut Purus.. purus dihitung berdasarkan hubungan darah dan hubungan yang timbul melalui perkawinan. Kelompok kekerabatn yang diperhitungkan melalui purus disebut batak. Individu yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dalam suatu kelompok disebut sebatak (batak tai) dan yang bukan disebut batak ulunt.
Perkembangan desa yang berasal dari sebuah rumah panjang (Luu) masih tetap mengikat penduduk menjadi suatu komunitas desa. Pada masyrakat dayak Tunjung juga terdapat pelapisan social yang dibedakan dengan tajam sekali ketika susunan pemerintahan desa adat (jaman lamin kuno) masih berlaku. Hilangmya pelapisan social adalah pengaruh masuknya pemerintah belanda kedaerah tempat orang-orang dayak bermukim. System perbudakan yang ada dihapuskan bersamaan dengan pelarangan potong kepala (mengayau) yang dalam bahasa tunjung disebut balaaq. susunan pelapisan social masyarakat tunjung pada jaman dulu adala:
  1. Hajiiq (Golongan Bangsawan), mereka terdiri dari raja beserta keturunannya, pemengkawaaq (pengawal raja) dan mantik tatau ( bawahan pemengkawaaq yang berhubungan langsung dengan rakyat) dengan semua keturunanya.
  2. Merentikaq merentawi disingkat merentikaq (golongan merdeka atau golongan biasa) mereka tidak termasuk golongan hajiq ataugolongan hamba sahaya. Golongan merentikaaq ini mempunyai hak untuk menarikan Tarian Calant caruuq, karena mereka keturunan asli dari Sengkereaq.
  3. Ripat (hamba sahaya), golongan ini mengabdikan diri pada Golongsn hajiiq.
d. Sistem Religi
Agama asli suku dayak tunjung adalah Animisme, mereka percaya kepada roh-roh, yaitu roh yang baik dapap memberikan perlindungan dan keselamatan sedangkan roh jahat suka menggangu manusia. Roh jahat terkadang dijadikan sahabat. Pandangan mereka bila roh jahat itu telah menjadi sahabat, maka roh tersebut dapat disuruh untuk membinasakan lawannya. (Black Magic). Orang yang dapat berhubungan dengan para roh disebut belian (Dukun Pawang) dan menjadi pemimpin upacara-upacara tradisional suku dayak tunjung. Dalam melaksanakan upacara adat, pemeliatn menggunakan pakain (yurk) tampa memakai baju. Warna pakaian (yurk) ini adalah putih yang dbuat dari kain koplin atau belacu yang dihiasi dengan kain warna warni (merah, biri, hitam, kuning, hijau) berbentuk garis-garis dan daun-daun. Patung belontang digunakan dalam upacara buang bangkai (kwangkai) berbentuk seorang manusia dan ada pula patung yang digunakan untuk pelas desa (bersih desa) berbentuk tiang (tonggak) yang diukir berbentuk guci terdapat ukiran berbentuk bunga teratai. Rata-rata tinggi patung sekitar 1 meter stngah dan diameternya kurang lebih 30 cm. Suku dayak tunjung mengenal beberapa macam roh jahat atau yang disebut nayu: a. Nayu Ramoy Nalok, yaitu roh jaha yang haus akan darah. Roh ini dijadikan sahabat unutk mendapatkan kekuatan. b. Juata Nayu,yaitu roh buaya yang digunakan untuk membalas dendam. c. Bintuhn Molu (hantu banci) roh yang selalu iri dengaki dengan kaum ibu-ibu yang melahirkan. Roh ini dapat membinasakan bayi dan ibunya. d. Nayu Mulang yaitu roh musuh yang suka mengayau. Bila roh ini menampakan dirinya maka berarti aka nada malapetaka atau bahaya.

Melacak Jejak Suku Dayak Bakumpai.

Oleh: (*Setia Budhi)

Kliping Fokus Harian Kompas 9 Juli 2005
Original source: www.kompas.com
http://www.jurnalisme.org/Forums/viewtopic/t=70.html

Dinding Muller yang terjal dengan perjalanan selama dua hari, dari hulu Sungai Barito menuju hulu Sungai Mahakam, tak menyurutkan semangat anggota tim ekspedisi untuk terus bergerak.

Ini adalah ekspedisi penuh tantangan. Misi utama yang tergabung dalam tim antropologi itu di antaranya melacak kembali komunitas etnis Dayak di kawasan Muller yang dulu sebab daerah itu merupakan kawasan penelitian etnografi Borneo terpenting di kalangan peneliti Eropa sekitar abad ke-19.

Hari menjelang petang, gerimis menyapu tanah liat di Kampung Tumbang Topus. Kampung yang merupakan hulunya hulu Sungai Murung yang anak Sungai Barito ini merupakan kawasan pertemuan hampir semua suku Dayak. Kampung Tumbang Topus paling tidak dihuni enam suku Dayak dari Dayak Ot Danum, Dayak Siang Murung, Dayak Bahau, Dayak Kahayan, dan Dayak Bakumpai dan Dayak Punan Murung.

Di kampung yang hanya dimukimi sekitar 70 kepala keluarga ini boleh dikata hidup berkerumun berbagai suku Dayak, tanpa mengenal batasan kesukuan ataupun batas-batas teritorial.

Menelusuri jejak suku Dayak Bakumpai dalam dunia Dayak abad ke-21 sudah tentu akan berbeda dengan era di mana ritual ngayau atau memenggal kepala manusia, masih bersemayam dalam kisah petualangan para kepala suku Dayak masa lampau.

Tiba di hulu Sungai Barito, suara burung enggang melengking pendek di ketinggian pohon ulin yang menjulang. Ketika membaur dan bergaul intim dengan masyarakatnya,jejak Dayak Bakumpai terasa menjadi makin kuat.

Inilah kenyataan etnografi. Sebab bahasa Bakumpai yang menjadi bagian dari bahasa kelompok suku Dayak Ngaju, di Kampung Tumbang Topus masih terciri sebagai bagian dari percakapan sehari-hari.

Kisah para lelaki Dayak Bakumpai sebagai pencari kayu gaharu, peladang dan pemburu sarang burung walet yang merupakan primadona mata pencaharian penduduk, adalah cerita mengenai kegagahan dan maskulinitas tersendiri, pada jalinan sejarah suku Dayak di belantara Kalimantan ini.

Hans Scharer sebagai pakar antropologi Eropa mengategorikan orang Dayak di hulu Sungai Barito adalah Dayak Ngaju. Ngaju di dalam bahasa lokal berarti "Ke hulu" dan digunakan pula dengan Ngajus untuk mencirikan diri mereka berbeda dari oloh Tumbang atau orang-orang dari muara sungai.

Batu tulis Saripoi

Apabila Bernard Sellato menyebutkan di pedalaman Kalimantan Tengah terdapat suku Dayak Ot Danum yang dihubungkan dengan Ngaju atau di Sungai Barito disebut juga Biaju, maka Ngaju adalah suku Dayak yang populasinya dominan di Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka inilah yang ditemukan di sepanjang sungai yang mengalir ke Kalimantan Selatan, hingga tembus ke Laut Jawa.

Dialek bahasa Dayak Ngaju di Sungai Kahayan memang menjadi bahasa penghubung di Kalimantan Tengah yang begitu kuatnya sehingga masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga di Tumbang Karamo, Desa Tujang, dan Kampung Tumbang Topus.

Malah beberapa ritual pun masih tetap dijalankan di desa-desa tepian Sungai Barito itu. Bahkan pada setiap kampung di hulu Barito, masih ditemukan patung peninggalan upacara Tiwah, upacara pengantar arwah ke negeri para leluhur.

Sejauh ini diketahui bahwa orang Dayak Ngaju tidak pernah membangun rumah panjang. Akan tetapi, di sungai hulu Barito di Desa Makunjung, Desa Konut, dan Muara Bubuat, tradisi rumah panjang masih bertahan dan menjadi bagian hidup dan budaya.

Perjumpaan dengan Batu Bertulis atau Batu Antik Lada di Desa Saripoi, Kecamatan Sumber Barito, merupakan suatu pembuktian penting dari kedekatan suku Dayak Bakumpai dengan Dayak Siang dan Ot Danum.

Suku Dayak Siang menyebut Batu Bertulis di Saripoi sebagai bukti peninggalan seorang tokoh yang bernama Lada. Maka orang Bakumpai mengenal Ngabe Lada sebagai tokoh yang hidup pada masa awal migrasi besar-besaran orang Bakumpai di hulu Barito, yang meneruskan perjalanannya ke hulu Sungai Mahakam.

Ngabe Lada adalah narasi lain yang mungkin akan sangat berguna, untuk mengetahui kisah panjang mengenai leluhur suku Dayak Bakumpai, selain tokoh Datu Bahandang Balau.

Ketokohan Ngabe Lada maupun Datu Bahandang Balau dalam mitologi Dayak Bakumpai tentulah akan sangat membantu penelusuran hubungan rapat antara Dayak Bakumpai dan Dayak Siang, Murung, dan Ot Danum.

Kalau benar Sang Lada atau Ngabe Lada meninggalkan kisah di Batu Bertulis di Desa Saripoi, di mana menggambarkan kisah suci pohon kehidupan Batang Garing, rumah panggung, dan goresan cerita alam pewayangan, maka yang terakhir seperti hendak menyatakan bahwa muasal ritual manyanggar lebo dan Badewa pada suku Dayak Bakumpai sebagai faktual akan kedayakan orang-orang Bakumpai.

Ritual Badewa, menyanggar, dan menggunakan bahasa Ngaju pada komunitas Bakumpai memiliki makna penting yang tak dapat dibantah bahwa Bakumpai adalah Dayak. Sesuatu yang belakangan telah menjadi rujukan etnografi meskipun sejarah kolonial mengotakkan suku Bakumpai yang Islam menjadi Melayu atau oloh Melayu.

Migrasi ke Mahakam

Rombongan pun tiba di Sungai Sebunut, Kalimantan Timur, dengan selamat. Saat itu juga terdengar denging mesin gergaji chainsaw. Di tanah daerah Kecamatan Long Bagun Ulu itu ternyata ada kisah menarik tentang jejak perjalanan Dayak Bakumpai ke Mahakam. Tentu saja kisah penuh nestapa ketika anak-anak manusia Bakumpai itu mencari tanah kehidupan lebih baik sambil menjaga dan mempertahankan hidupnya.

Selayaknya orang Bakumpai yang bermata pencaharian pokok sebagai petani tadah hujan di kampung asal Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, kehidupan yang amat bergantung pada kemurahan dan kemudahan alam, sungguh sulit dapat mendatangkan perubahan.

Juga di zaman penjajahan Belanda, jalur migrasi Bakumpai ke hulu Mahakam melalui Pegunungan Muller sungguh sulit.

Belanda sudah membangun benteng dengan pemeriksaan ketatnya di Puruk Cahu, untuk mengawasi lalu lintas perdagangan emas dan hasil hutan. Misalnya, kasus terbunuhnya kapten serdadu Belanda dalam kemelut peperangan melawan Panglima Durasyid sekitar tengah abad ke-19.

Sementara itu, Mahakam yang sejak dulu disebut-sebut sebagai lumbung emas, hutan yang lebat, sarang walet, dan kayu gaharu menjadi daya tarik arus migrasi Bakumpai. Itulah yang membuat Maja, Ucu Lii, dan Harpan pada tahun 1969 terangsang untuk mengadu nasib dan mempertaruhkan badan dan tenaganya, pergi ke hulu Mahakam.

Jalur pertama yang mereka tempuh adalah jalan kaki dari Muara Teweh ke kampung orang-orang Benuaq di kawasan Kutai Barat sekarang. Perjalanan waktu telah mengantarkan orang-orang Bakumpai perantau dan melakukan kontak dengan kampung-kampung lain di Datah Bilang, Mamahak, Long Bagun, bahkan pernah sampai ke daerah Kapit-Kelabit di Malaysia.

"Ngayau dan perampok merupakan cerita nyata yang kami alami sendiri, selama mengembara di hutan-hutan mencari sarang walet, atau menebang kayu" kata Maja di rumahnya di Kampung Long Bagun Ulu, Kaltim.

Penuturan Ni Galuh di Long Iram menyebutkan bahwa fase awal orang Bakumpai ke Kaltim karena tekanan pada situasi Perang Barito tahun 1863. Banyak orang Bakumpai bersama orang-orang Banjar di Puruk Cahu, Muara Teweh, dan Marabahan yang menyingkir ke Mahakam untuk menghindari perang yang berkecamuk itu.

Sesudah pejuang Bakumpai bersama Dayak Siang dan Dayak Ot Danum menenggelamkan kapal perang Belanda Onrust di hulu Sungai Barito, sejak itu pula Belanda "memburu" tokoh pejuang itu, antara lain Tumenggung Surapati dan Panglima Wangkang.

Pencarian tanpa batas oleh pihak Belanda itulah yang meresahkan penduduk dan akhirnya penduduk memilih menyingkir ke Mahakam, lalu sebagian lagi ke Waringin.

Khususnya Long Iram yang sempat menjadi kampung perdagangan di wilayah hulu di bawah Kerajaan Kutai. Pembangunan Long Iram tak lepas dari orang Bakumpai meski Long Iram sudah dihuni orang Dayak Bahau.

Jejak suku Dayak Bakumpai tak hanya berhenti di Long Iram. Generasi kedua dan ketiga sesudah tokoh Dayak Bakumpai itu terus melakukan diaspora ke pelbagai kawasan karena Dayak Bakumpai memiliki riwayat peradaban di Kalimantan.

*) Setia Budhi Dosen Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, dan Peneliti mengenai Dayak Kalimantan

Sumber foto : http://lalimpala.blogspot.com/2008/09/upacara-adat-badewa-masy.html