Oleh: (*Setia Budhi)
Kliping Fokus Harian Kompas 9 Juli 2005
Original source:
www.kompas.comhttp://www.jurnalisme.org/Forums/viewtopic/t=70.html
Dinding
Muller yang terjal dengan perjalanan selama dua hari, dari hulu Sungai
Barito menuju hulu Sungai Mahakam, tak menyurutkan semangat anggota tim
ekspedisi untuk terus bergerak.
Ini adalah ekspedisi penuh
tantangan. Misi utama yang tergabung dalam tim antropologi itu di
antaranya melacak kembali komunitas etnis Dayak di kawasan Muller yang
dulu sebab daerah itu merupakan kawasan penelitian etnografi Borneo
terpenting di kalangan peneliti Eropa sekitar abad ke-19.
Hari
menjelang petang, gerimis menyapu tanah liat di Kampung Tumbang Topus.
Kampung yang merupakan hulunya hulu Sungai Murung yang anak Sungai
Barito ini merupakan kawasan pertemuan hampir semua suku Dayak. Kampung
Tumbang Topus paling tidak dihuni enam suku Dayak dari Dayak Ot Danum,
Dayak Siang Murung, Dayak Bahau, Dayak Kahayan, dan Dayak Bakumpai dan
Dayak Punan Murung.
Di kampung yang hanya dimukimi sekitar 70
kepala keluarga ini boleh dikata hidup berkerumun berbagai suku Dayak,
tanpa mengenal batasan kesukuan ataupun batas-batas teritorial.
Menelusuri
jejak suku Dayak Bakumpai dalam dunia Dayak abad ke-21 sudah tentu akan
berbeda dengan era di mana ritual ngayau atau memenggal kepala manusia,
masih bersemayam dalam kisah petualangan para kepala suku Dayak masa
lampau.
Tiba di hulu Sungai Barito, suara burung enggang
melengking pendek di ketinggian pohon ulin yang menjulang. Ketika
membaur dan bergaul intim dengan masyarakatnya,jejak Dayak Bakumpai
terasa menjadi makin kuat.
Inilah kenyataan etnografi. Sebab
bahasa Bakumpai yang menjadi bagian dari bahasa kelompok suku Dayak
Ngaju, di Kampung Tumbang Topus masih terciri sebagai bagian dari
percakapan sehari-hari.
Kisah para lelaki Dayak Bakumpai sebagai
pencari kayu gaharu, peladang dan pemburu sarang burung walet yang
merupakan primadona mata pencaharian penduduk, adalah cerita mengenai
kegagahan dan maskulinitas tersendiri, pada jalinan sejarah suku Dayak
di belantara Kalimantan ini.
Hans Scharer sebagai pakar
antropologi Eropa mengategorikan orang Dayak di hulu Sungai Barito
adalah Dayak Ngaju. Ngaju di dalam bahasa lokal berarti "Ke hulu" dan
digunakan pula dengan Ngajus untuk mencirikan diri mereka berbeda dari
oloh Tumbang atau orang-orang dari muara sungai.
Batu tulis SaripoiApabila
Bernard Sellato menyebutkan di pedalaman Kalimantan Tengah terdapat
suku Dayak Ot Danum yang dihubungkan dengan Ngaju atau di Sungai Barito
disebut juga Biaju, maka Ngaju adalah suku Dayak yang populasinya
dominan di Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka inilah yang ditemukan di
sepanjang sungai yang mengalir ke Kalimantan Selatan, hingga tembus ke
Laut Jawa.
Dialek bahasa Dayak Ngaju di Sungai Kahayan memang
menjadi bahasa penghubung di Kalimantan Tengah yang begitu kuatnya
sehingga masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga di
Tumbang Karamo, Desa Tujang, dan Kampung Tumbang Topus.
Malah
beberapa ritual pun masih tetap dijalankan di desa-desa tepian Sungai
Barito itu. Bahkan pada setiap kampung di hulu Barito, masih ditemukan
patung peninggalan upacara Tiwah, upacara pengantar arwah ke negeri para
leluhur.
Sejauh ini diketahui bahwa orang Dayak Ngaju tidak
pernah membangun rumah panjang. Akan tetapi, di sungai hulu Barito di
Desa Makunjung, Desa Konut, dan Muara Bubuat, tradisi rumah panjang
masih bertahan dan menjadi bagian hidup dan budaya.
Perjumpaan
dengan Batu Bertulis atau Batu Antik Lada di Desa Saripoi, Kecamatan
Sumber Barito, merupakan suatu pembuktian penting dari kedekatan suku
Dayak Bakumpai dengan Dayak Siang dan Ot Danum.
Suku Dayak Siang
menyebut Batu Bertulis di Saripoi sebagai bukti peninggalan seorang
tokoh yang bernama Lada. Maka orang Bakumpai mengenal Ngabe Lada sebagai
tokoh yang hidup pada masa awal migrasi besar-besaran orang Bakumpai di
hulu Barito, yang meneruskan perjalanannya ke hulu Sungai Mahakam.
Ngabe
Lada adalah narasi lain yang mungkin akan sangat berguna, untuk
mengetahui kisah panjang mengenai leluhur suku Dayak Bakumpai, selain
tokoh Datu Bahandang Balau.
Ketokohan Ngabe Lada maupun Datu
Bahandang Balau dalam mitologi Dayak Bakumpai tentulah akan sangat
membantu penelusuran hubungan rapat antara Dayak Bakumpai dan Dayak
Siang, Murung, dan Ot Danum.
Kalau benar Sang Lada atau Ngabe
Lada meninggalkan kisah di Batu Bertulis di Desa Saripoi, di mana
menggambarkan kisah suci pohon kehidupan Batang Garing, rumah panggung,
dan goresan cerita alam pewayangan, maka yang terakhir seperti hendak
menyatakan bahwa muasal ritual manyanggar lebo dan Badewa pada suku
Dayak Bakumpai sebagai faktual akan kedayakan orang-orang Bakumpai.
Ritual
Badewa, menyanggar, dan menggunakan bahasa Ngaju pada komunitas
Bakumpai memiliki makna penting yang tak dapat dibantah bahwa Bakumpai
adalah Dayak. Sesuatu yang belakangan telah menjadi rujukan etnografi
meskipun sejarah kolonial mengotakkan suku Bakumpai yang Islam menjadi
Melayu atau oloh Melayu.
Migrasi ke MahakamRombongan
pun tiba di Sungai Sebunut, Kalimantan Timur, dengan selamat. Saat itu
juga terdengar denging mesin gergaji chainsaw. Di tanah daerah Kecamatan
Long Bagun Ulu itu ternyata ada kisah menarik tentang jejak perjalanan
Dayak Bakumpai ke Mahakam. Tentu saja kisah penuh nestapa ketika
anak-anak manusia Bakumpai itu mencari tanah kehidupan lebih baik sambil
menjaga dan mempertahankan hidupnya.
Selayaknya orang Bakumpai
yang bermata pencaharian pokok sebagai petani tadah hujan di kampung
asal Marabahan, Kabupaten Barito Kuala, kehidupan yang amat bergantung
pada kemurahan dan kemudahan alam, sungguh sulit dapat mendatangkan
perubahan.
Juga di zaman penjajahan Belanda, jalur migrasi Bakumpai ke hulu Mahakam melalui Pegunungan Muller sungguh sulit.
Belanda
sudah membangun benteng dengan pemeriksaan ketatnya di Puruk Cahu,
untuk mengawasi lalu lintas perdagangan emas dan hasil hutan. Misalnya,
kasus terbunuhnya kapten serdadu Belanda dalam kemelut peperangan
melawan Panglima Durasyid sekitar tengah abad ke-19.
Sementara
itu, Mahakam yang sejak dulu disebut-sebut sebagai lumbung emas, hutan
yang lebat, sarang walet, dan kayu gaharu menjadi daya tarik arus
migrasi Bakumpai. Itulah yang membuat Maja, Ucu Lii, dan Harpan pada
tahun 1969 terangsang untuk mengadu nasib dan mempertaruhkan badan dan
tenaganya, pergi ke hulu Mahakam.
Jalur pertama yang mereka
tempuh adalah jalan kaki dari Muara Teweh ke kampung orang-orang Benuaq
di kawasan Kutai Barat sekarang. Perjalanan waktu telah mengantarkan
orang-orang Bakumpai perantau dan melakukan kontak dengan
kampung-kampung lain di Datah Bilang, Mamahak, Long Bagun, bahkan pernah
sampai ke daerah Kapit-Kelabit di Malaysia.
"Ngayau dan perampok
merupakan cerita nyata yang kami alami sendiri, selama mengembara di
hutan-hutan mencari sarang walet, atau menebang kayu" kata Maja di
rumahnya di Kampung Long Bagun Ulu, Kaltim.
Penuturan Ni Galuh di
Long Iram menyebutkan bahwa fase awal orang Bakumpai ke Kaltim karena
tekanan pada situasi Perang Barito tahun 1863. Banyak orang Bakumpai
bersama orang-orang Banjar di Puruk Cahu, Muara Teweh, dan Marabahan
yang menyingkir ke Mahakam untuk menghindari perang yang berkecamuk itu.
Sesudah
pejuang Bakumpai bersama Dayak Siang dan Dayak Ot Danum menenggelamkan
kapal perang Belanda Onrust di hulu Sungai Barito, sejak itu pula
Belanda "memburu" tokoh pejuang itu, antara lain Tumenggung Surapati dan
Panglima Wangkang.
Pencarian tanpa batas oleh pihak Belanda
itulah yang meresahkan penduduk dan akhirnya penduduk memilih menyingkir
ke Mahakam, lalu sebagian lagi ke Waringin.
Khususnya Long Iram
yang sempat menjadi kampung perdagangan di wilayah hulu di bawah
Kerajaan Kutai. Pembangunan Long Iram tak lepas dari orang Bakumpai
meski Long Iram sudah dihuni orang Dayak Bahau.
Jejak suku Dayak
Bakumpai tak hanya berhenti di Long Iram. Generasi kedua dan ketiga
sesudah tokoh Dayak Bakumpai itu terus melakukan diaspora ke pelbagai
kawasan karena Dayak Bakumpai memiliki riwayat peradaban di Kalimantan.
*) Setia Budhi Dosen Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, dan Peneliti mengenai Dayak Kalimantan
Sumber foto : http://lalimpala.blogspot.com/2008/09/upacara-adat-badewa-masy.html